6.12.08

Tips MELANGSINGKAN TUBUH

Berikut ini adalah cara MELANGSINGKAN tubuh secara ALAMI


Untuk tubuh yang langsing, selalu mau berbagi makanan dengan yang kelaparan.

[+/-] Selengkapnya...

1.12.08

I + N + D + O + N + E + S + I + A = .....?



HENTIKAN PERTIKAIAN!

[+/-] Selengkapnya...

"FriDa KaHLo"


Frida Kahlo, seorang pelukis beraliran surealisme Meksiko yang kehidupannya penuh dengan kontroversi. Selalu ingin menjadi pusat perhatian, ia tahu bagaimana caranya agar orang memperhatikannya. Pintar, eksentrik dan begitu liar dan seorang Pemimpin. Peraturan tidak berlaku baginya. Larangan hanya akan membuat tantangan lebih menggodanya.

Terlahir dari ibu berdarah Indian Mexico dan ayah keturunan Jerman - Hongaria, Frida tumbuh sebagai gadis kecil pemberontak dengan lidah tajam. Ia bukan saja cantik menawan tetapi juga cerdas. Frida Sang Pemberani mengidap polio di usia 6 tahun dan kaki sebelah kiri gadis ini mengecil hingga hayatnya.

Kehidupan Frida Kahlo adalah ramuan antara ego dan tragedi. Sejak di sekolah dasar Frida adalah jiwa yang gelisah dan pemberontak. Frida Kahlo kecil adalah sosok yang ingin selalu diperhatikan dan ingin lebih dari yang lain.

Frida Kahlo di kalangan seniman lukis adalah sebuah legenda. Ia dikenal sebagai sosok seniman revolusioner dengan lukisan-lukisan yang sebagian besar adalah potret dirinya. Ia seorang narsis yang memuja dirinya sendiri. Temperamental, lugas, blak-blakan, tak tahan jika diabaikan, selalu ingin menjadi perhatian semua orang di sekitarnya : ayah, ibu, kakak, adik, suami, para kekasih, sahabat-sahabatnya..Ia feminis. Ia nasionalis. Ia komunis.

Kehidupan Frida tambah berwarna setelah bergaul dengan pelukis dinding atau muralis kenamaan Meksiko Dieo Rivera yang umurnya sangat terpaut jauh. Dari hasil pergaulannya itu secara ideologi Frida Kahlo terpengaruh dan akhirnya menjadi Komunis. Sedangkan secara kreatifitas Frida tetap bersikukuh dengan alirannya potret diri surealis.


[+/-] Selengkapnya...

30.11.08

"SoLeDaD BraVo"





Hasta siempre Comandante

Aprendimos a quererte
desde la histórica altura
donde el sol de tu bravura
le puso cerco a la muerte.

Estribillo:

Aquí se queda la clara,
la entrañable transparencia,
de tu querida presencia
Comandante Che Guevara.

Tu mano gloriosa y fuerte
sobre la historia dispara
cuando todo Santa Clara
se despierta para verte.

Estribillo

Vienes quemando la brisa
con soles de primavera
para plantar la bandera
con la luz de tu sonrisa.

Estribillo

Tu amor revolucionario
te conduce a nueva empresa
donde esperan la firmeza
de tu brazo libertario.

Estribillo

Seguiremos adelante
como junto a ti seguimos
y con Fidel te decimos:
Hasta siempre, Comandante!


[+/-] Selengkapnya...

"mOTHER TERESA"



Menurut darah,

saya seorang Albania.

Menurut kewarganegaraan,
saya seorang India.

Menurut iman,
saya seorang biarawati Katolik.

Menurut panggilan,
saya milik dunia.

Sementara hati saya,
sepenuhnya saya milik Hati Yesus.


MENURUT KAMU.....?

[+/-] Selengkapnya...

"NIHILisme"


Nihilisme adalah sebuah pandangan filosofi yang sering dihubungkan dengan Friedrich Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan.

Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain.

Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu. [Nietzsche, Die fröhliche Wissenschaft]

Pengakuan bahwa "Tuhan sudah mati" adalah bagaikan sebuah kanvas kosong. Ini adalah kebebasan untuk menjadi sesuatu yang baru, yang lain, kreatif — suatu kebebasan untuk menjadi sesuatu tanpa dipaksa untuk menerima beban masa lampau. Nietzsche menggunakan metafora laut yang terbuka, yang dapat menggairahkan dan menakutkan. Orang-orang yang akhirnya belajar untuk menciptakan kehidupan mereka kembali akan mewakili suatu tahap yang baru dalam keberadaan manusia, sang Übermensch. 'Tuhan sudah mati' adalah motivasi bagi proyek filsafat terakhir Nietzsche yang tidak terselesaikan, 'revaluasi terhadap semua nilai'.


[+/-] Selengkapnya...

"101% BOLEH DILANGGAR"



LANGGARLAH DENGAN CARA YANG CERDAS!

[+/-] Selengkapnya...

"MADE IN inDOneSiA"


Entah apa yang salah dengan genjer-genjer sebagai sebuah produk kebudayaan? Selepas PKI dan orang-orang PKI, berikut anak cucunya dihancurkan oleh Orde Baru, tak terkecuali pula lagu genjer-genjer yang sebenarnya adalah lagu yang menggambarkan potret masyarakat pada zaman pendudukan Jepang.

Lagu Genjer-genjer, tidak ada sama sekali unsur politik atau ideologi suatu partai, hanya kebetulan yang mempopulerkan lagu tersebut adalah LEKRA, seandainya bukan LEKRA yang mempopulerkan lagu tersebut, tentu tidak ditafsirkan orang yang negatif seperti sekarang ini.

Lagu “Genjer-genjer” telah dipelesetkan.
Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler
Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral
Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh
Jendral Jendral saiki wes dicekeli
Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa
Dijejer ditaleni dan dipelosoro
Emake Germwani, teko kabeh milu ngersoyo
Jendral Jendral maju terus dipateni

=================================
Gendjer-gendjer neng ledokan pating keleler
Gendjer-gendjer neng ledokan pating keleler
Emake thole teka-teka mbubuti gendjer
Emake thole teka-teka mbubuti gendjer
Oleh satenong mungkur sedot sing tolah-tolih

Gendjer-gendjer saiki wis digawa mulih.
Gendjer-gendjer esuk-esuk digawa nang pasar
Gendjer-gendjer esuk-esuk digawa nang pasar
didjejer-djejer diunting pada didasar
dudjejer-djejer diunting pada didasar
emake djebeng tuku gendjer wadahi etas
gendjer-gendjer saiki arep diolah.

Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob
Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob
setengah mateng dientas digawe iwak
setengah mateng dientas digawe iwak
sega sa piring sambel penjel ndok ngamben
gendjer-gendjer dipangan musuhe sega

=========================================
Gendjer-gendjer neng ledokan pating keleler
Gendjer-gendjer neng ledokan pating keleler
Emake thole teka-teka mbubuti gendjer
Emake thole teka-teka mbubuti gendjer
Oleh satenong mungkur sedot sing tolah-tolih
Gendjer-gendjer saiki wis digawa mulih.

Gendjer-gendjer esuk-esuk digawa nang pasar
Gendjer-gendjer esuk-esuk digawa nang pasar
didjejer-djejer diunting pada didasar
dudjejer-djejer diunting pada didasar
emake djebeng tuku gendjer wadahi etas
gendjer-gendjer saiki arep diolah.

Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob
Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob
setengah mateng dientas digawe iwak
setengah mateng dientas digawe iwak
sega sa piring sambel penjel ndok ngamben
gendjer-gendjer dipangan musuhe sega.

==========================================
Genjer-genjer ring kedokan pating keleler
Emak tulik teko-teko muputi genjer
Oleh sak tenong mungkur sedot sing tulih-tulih
Genjer-genjer sak iki digowo mulih

Genjer-genjer diuntingi podo didasar
Dijejer-jejer sak ikine didol ring pasar
Emak-e jebeng podo tuku nggowo welasah
Genjer-genjer sak iki podo diolah

Genjer-genjer melebu pendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas wong dienggo iwak
Sego nong piring sambel jeruk ring pelonco
Genjer-genjer sak iki ayo dipangan.

[+/-] Selengkapnya...

29.11.08

"Surat eL COMANDANTE"



Surat Kepada Orang Tuanya - Surat Kepada Anak-anaknya - Surat Kepada Hildita (Surat ini ditulis untuk Hildita, anak Che Guevara yang paling besar, pada ulang tahunnya yang ke sepuluh) - Surat Selamat Tinggal Kepada Fidel Castro.

Surat Kepada Orang Tuanya
Che Guevara (1965)

Rakyat tua tercinta:
Sekali lagi aku merasai di bawah tumitku tulang-tulang rusuk Rocinante. Sekali lagi, aku turun ke jalan dengan pedang dan perisai di tanganku. Hampir sepuluh tahun yang lalu, aku menulis surat perpisahan yang lain padamu. Seingatku, aku tak perduli lagi tidak menjadi serdadu yang baik dan menjadi dokter yang baik. Menjadi dokter tidak lagi menarik bagiku; aku bukanlah serdadu yang buruk.
Tak ada yang berubah pada esensinya, terkecuali bahwa aku jauh lebih sadar. Marxisme-ku telah mengakar dan menjadi lebih murni. Aku yakin bahwa perjuangan bersenjata sebagai satu-satunya pemecahan bagi rakyat yang berjuang demi membebaskan dirinya, dan aku setia dengan keyakinanku ini. Banyak orang menyebutku sebagai seorang petualang, dan itulah aku, hanya satu hal bedanya: seseorang yang mengorbankan kulit luarnya untuk membuktikan kebenaran di dalamnya.
Mungkin saja ini kali yang terakhir. Aku tak memintanya, namun tentulah itu berada di dalam kenyataan kemungkinan logisnya. Seandainya harus demikian, terimalah peluk kasihku yang terakhir kali. Aku amat menyayangimu, hanya saja aku tak tahu bagaimana menyatakan cinta kasihku ini. Aku sangat kaku dalam tindakanku, dan aku berpikir bahwa kadang-kadang kau tidak akan memahamiku. Adalah tidak mudah untuk memahamiku. Meski begitu. kumohon saat ini percayalah padaku.
Saatnya sekarang sebuah ketekunan yang telah aku poles dengan sebuah keriangan seniman akan menopang kaki-kaki yang gemetaran dan paru-paru yang letih ini. Aku akan melaksanakannya.
Berikan restumu sekali lagi kepada serdadu kecil abad ke dua puluh ini.
Cium mesra untuk Celia, Roberto, Juan Martin dan Patotin, Beatriz, kepada semuanya. Untuk kalian, peluk erat dari anakmu yang keras kepala dan handel ini,
Ernesto

Surat Kepada Anak-anaknya
Che Guevara (1965)

Untuk anak-anakku

Hildita, Aleidita, Camilo, Celia,dan Ernesto terkasih:

Bacalah baik-baik surat ini, karena aku tidak lagi bersamamu. Praktis kau tidak akan mengingatku lagi, dan kau yang paling kecil tidak akan ingat padaku sama sekali.

Ayahmu ini seorang manusia yang bertindak atas keyakinan yang dipegangnya dan setia pada pendiriannya.

Tumbuhlah kalian sebagai revolusioner yang baik. Belajarlah yang tekun hingga kalian dapat menguasai teknologi, yang akan memungkinkan kalian menguasai alam. Camkan bahwa revolusilah hal yang pokok, dan masing-masing dari kita, seorang diri, tak akan ada artinya.

Di atas segalanya, kembangkan selalu perasaan yang dalam pada siapapun yang mengalami ketidakadilan, dimanapun didunia ini. Inilah kualitas yang paling indah dari seorang revolusioner.

Hingga kapanpun juga, anak-anakku. Aku masih berharap melihatmu. Cium mesra dan peluk erat dari

Ayah

Surat Kepada Hildita
Che Guevara (1966)



15 Februari 1966

Hildita tercinta,
Aku tulis surat sekarang padamu, walaupun mungkin akan sampai di tanganmu sangat terlambat. Namun aku ingin kau mengetahui bahwa aku senantiasa memikirkanmu dan aku berharap kau amat berbahagia di hari ulang tahunmu ini. Kau sudah hampir menjadi gadis dewasa sekarang, dan aku tak bisa lagi menulis surat padamu seperti saat kau masih kecil dulu, mendongeng hal-hal yang lucu atau dongeng kosong.
Kau harus tahu bahwa aku masih berada di tempat yang jauh dan meninggalkanmu untuk beberapa lama, menjalankan apa yang dapat aku perjuangkan melawan musuh-musuh kita. Bukan sesuatu hal luar biasa, namun aku sedang berbuat sesuatu, dan kupikir kau akan senantiasa bangga pada ayahmu ini, sebagaimana aku padamu.
Ingatlah, masih ada tahun-tahun penuh perjuangan di hadapan kita, dan bahkan ketika kau sudah menjadi wanita dewasa, kau harus mengerjakan bagian tugasmu dalam perjuangan. Sementara ini, kau harus mempersiapkan dirimu, jadilah revolusioner sejati di usiamu kini tugasmu adalah belajar, sebanyak-banyaknya, dan senantiasalah siap mendukung keadilan dan kebenaran. Juga, patuhlah pada ibumu dan janganlah kau berpikir hendak mengetahui segalanya terlalu dini. Saatnya kan datang padamu.
Kau harus berjuang diantara yang terbaik di sekolah. Terbaik dalam setiap pengertian, dan kau sudah mengetahui apa artinya ini: belajar dan sikap revolusioner.
Dengan kata lain: tindak-tanduk yang baik, kesungguhan, cinta pada revolusi, persaudaraan, dsb.
Aku sendiri tidak demikian di usia sepertimu saat ini, namun aku hidup di dalam masyarakat yang berbeda, dimana manusia adalah musuh manusia lain. Sekarang kau memiliki kemudahan hidup di jaman yang lain dan kau harus mensyukurinya.
Jangan lupa main ke rumah-rumah tetangga kita untuk berteman dengan anak-anak lain dan sarankan mereka untuk belajar dan bertingkah laku baik. Terutama Aleidita, yang membutuhkan perhatian besar darimu sebagai kakaknya yang tertua.
Baiklah, tuan putri. Sekali lagi kuharap kau amat berbahagia di ulang tahunmu ini. Peluk mesra untuk ibumu dan Gina. Aku memberimu peluk erat seerat-eratnya hingga akhir perpisahan kita ini.

Ayahmu

Surat Selamat Tinggal Kepada Fidel Castro
Che Guevara (1965)

Surat ini dibacakan oleh Fidel Castro pada tanggal 3 oktober 1965, pada rapat terbuka yang mengumumkan Komite Sentral Partai Komunis Kuba yang baru terbentuk dengan dihadiri oleh istri Guevara dan anak-anaknya, Castro menyatakan:
"Saya hendak bacakan sebuah surat, yang ditulis tangan dan kemudian diketik, dari kawan Ernesto Guevara, yakni penjelasan diri ....Tertulis demikian: 'havana' --tanpa tanggal, surat yang musti dibacakan pada kesempatan yang amat baik, namun sesungguhnya dibuat pada tanggal 1 April tahun ini."
Pembacaan, surat ini merupakan penjelasan terbuka pertama kali sejak guevara tidak pernah nampak lagi di Kuba.
Havana,
Tahun Pertanian

Fidel:
Pada saat ini aku teringat banyak hal --ketika aku pertama kali bertemu denganmu di rumah Maria Antonia, ketika kau mengusulkan aku untuk ikut serta, seluruh ketegangan terlibat dalam persiapan itu.(peperangan/gerilya melawan Batista, pent)
Suatu ketika ketegangan-ketegangan itu akan menghampiri kita lagi dan menagih nyawa kita, dan kemungkinan nyata dari fakta itu memukul kita semua. Di kemudian hari tahulah kita bahwa itu benar, bahwa dalam revolusi salah satu pihak akan menang atau mati (bila itu benar revolusi). Banyak kawan yang berjatuhan sepanjang jalan menuju kemenangan.
Saat ini segala sesuatunya tidak lagi terlalu dramatis, karena kita lebih matang. Namun kejadian-kejadian kembali terulang. Aku merasa bahwa aku telah memnuhi kewajibanku yang mengikatkan aku pada revolusi Kuba,secara teritorial, dan kuucapkan selamat berpisah padamu, pada rakyatmu, yang sekarang rakyatku juga.
Secara resmi aku mengundurkan diri dari kedudukan dalam kepemimpinan nasional partai, kedudukan, sebagai menteri, pangkat komandanku, dan kewarganegaraan Kuba-ku. Tak ada yang legal yang mengikatku dengan Kuba. Satu-satunya ikatan adalah hal lain --ikatan yang tak bisa diputuskan seperti pemberhentian seseorang dari sebuah jabatan.
Merenungkan kehidupan masa laluku, aku yakin aku telah bekerja dengan cukup jujur dan pengabdian untuk mengkonsolidasikan kejayaan revolusioner. Satu-satunya kesalahanku yang serius adalah tidak punya kepercayaan yang besar padamu saat pertama di Sierra Maestra dulu, dan tidak segera yakin akan kualitasmu sebagai seorang pemimpin dan seorang revolusioner.
Hari-hari kehidupanku kulewati dengan indah di sini, dan di sisimu aku merasa bangga memiliki rakyat yang demikian tangguh menghadapi saat-saat penuh penderitaan dalam krisis Karibia.
Jarang sekali ada negarawan yang lebih ulung darimu menghadapi saat-saat seperti itu. Akupun bangga mengikutimu tanpa keraguan, mengidentifikasikan dengan jalan pikiran,pandangan,perhitungan menghadapi bahaya, dan prinsip-prinsipmu. Kali ini bangsa-bangsa lain mengharapkan sumbangsihku. Dan aku bisa melakukannya tanpa mengikutsertakanmu karena tanggung jawabmu yang besar sebagai pimpinan kuba, dan tibalah saatnya bagi kita untuk berpisah.
Ketahuilah, bahwa aku melakukan tugas ini dengan campuran perasaan bahagia dan sedih. Kutinggalkan di sini harapan-harapanku yang paling murni sebagai seorang pembangun dan seluruh ketulusanku yang paling dalam.Kutinggalkan orang-orang yang telah menganggapku anak. Itu semua sesungguhnya menimbulkan luka yang dalam bagiku.Akan kubawa ke medan juang baru segala hal yang kau ajarkan padaku, semangat revolusioner rakyat kita, perasaan untuk memenuhi kewajiban yang amat suci: berjuang menentang imperialisme dimanapun ia adanya. Ini yang akan mengobati dan mengeringkan luka di jiwaku.
Kunyatakan sekali lagi bahwa aku melepaskan Kuba dari tanggung jawab apapun juga, kecuali teladan-teladan yang diberikannya. Kalau saja saat-saat akhir hayatku aku berada di bawah langit lain, pikiranku yang terakhir adalah tentang rakyat Kuba dan terutama tentang dirimu. Aku amat berterima kasih atas ajaran-ajaranmu, teladan-teladanmu, dan aku akan memegangnya hingga konsekuensiku yang paling akhir dari tindakanku.
Aku selalu mengidentifikasikan diri dengan kebijaksanaan luar negeri dari revolusi kita, dan akan meneruskannya. Dimanapun aku berada, aku akan merasa bertanggung jawab terhadap revolusi Kuba, dan aku kan menjaganya. Aku tak merasa malu bahwa aku tak meninggalkan kekayaan materi untuk anak-anak dan istriku; aku bahagia dengan cara seperti itu. Aku tak memintakan apapun untuk mereka, karena negara akan mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan untuk mereka.
Aku ingin mengatakan banyak hal padamu dan pada rakyat kita, namun aku merasa hal itu tak perlu. kata-kata tak akan mampu mengekspresikan apa yang ingin kuungkapkan itu, dan kupikir tak ada manfaatnya untuk membuat coretan lebih banyak lagi di sini.
Hasta la victoria siempre! (Maju terus menuju kemenangan)
Patria o muerte! (Tanah air atau mati)
Kupeluk kau dengan sepenuh semangat revolusionerku.
Che



[+/-] Selengkapnya...

28.11.08

"MahatMa"


“Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi seuntai maaf tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh"

Gandhi adalah seorang Hindu namun dia menyukai pemikiran-pemikiran dari agama-agama lain termasuk Islam dan Kristen. Dia percaya bahwa manusia dari segala agama harus mempunyai hak yang sama dan hidup bersama secara damai di dalam satu negara.

Pada 1947, India menjadi merdeka dan pecah menjadi dua negara, India dan Pakistan. Hal ini tidak disetujui Gandhi.

Prinsip Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan sebagai "jalan yang benar" atau "jalan menuju kebenaran", telah menginspirasi berbagai generasi aktivis-aktivis demokrasi dan anti-rasisme seperti Martin Luther King, Jr. dan Nelson Mandela. Gandhi sering mengatakan kalau nilai-nilai ajarannya sangat sederhana, yang berdasarkan kepercayaan Hindu tradisional: kebenaran (satya), dan non-kekerasan (ahimsa).

Pada 30 Januari 1948, Gandhi dibunuh seorang lelaki Hindu yang marah kepada Gandhi karena ia terlalu memihak kepada Muslim.


[+/-] Selengkapnya...

"KeGAGALan MAO"


Mao percaya akan sebuah revolusi yang kekal sifatnya. Ia juga percaya bahwa setiap revolusi pasti menghasilkan kaum kontra-revolusioner. Oleh karena itu secara teratur ia memberantas dan menangkapi apa yang ia anggap lawan-lawan politiknya dan para pengkhianat atau kaum kontra-revolusioner.

Peristiwa yang paling dramatis dan mengenaskan hati ialah peristiwa Revolusi Kebudayaan yang terjadi pada tahun 1966. Pada tahun 1960an para mahasiswa di seluruh dunia memang pada senang-senangnya memberontak terhadap apa yang mereka anggap The Establishment atau kaum yang memerintah. Begitu pula di Cina. Bedanya di Cina mereka didukung oleh para dosen-dosen mereka dan pembesar-pembesar Partai termasuk Mao sendiri. Para mahasiswa dan dosen mendirikan apa yang disebut Garda Merah, yaitu sebuah unit paramiliter. Dibekali dengan Buku Merah Mao, mereka menyerang antek-antek kapitalisme dan pengaruh-pengaruh Barat serta kaum kontra-revolusioner lainnya.

Sebagai contoh fanatisme mereka, mereka antara lain menolak berhenti di jalan raya apabila lampu merah menyala karena mereka berpendapat bahwa warna merah, yang merupakan simbol sosialisme tidak mungkin mengartikan sesuatu yang berhenti. Maka para anggota Garda Merah ini pada tahun 1966 sangat membabi buta dalam memberantas kaum kontra revolusioner sehingga negara Cina dalam keadaan amat genting dan hampir hancur; ekonominyapun tak jalan.

Akhirnya Mao terpaksa menurunkan Tentara Pembebasan Rakyat untuk menanggulangi mereka dan membendung fanatisme mereka. Hasilnya adalah perang saudara yang baru berakhir pada tahun 1968.

Pada tahun 1958 Mao meluncurkan apa yang ia sebut Lompatan Jauh ke Depan di mana daerah pedesaan direorganisasi secara total. Di mana-mana didirikan perkumpulan-perkumpulan desa (komune). Secara ekonomis ternyata ini semua gagal. Komune-komune ini menjadi satuan-satuan yang terlalu besar dan tak bisa terurusi. Diperkirakan kurang lebih hampir 20 juta jiwa penduduk Cina kala itu tewas secara sia-sia.


[+/-] Selengkapnya...

"Tan Malaka: Sang Pejuang Yang Disingkirkan Negara"


Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: Kemerdekaan Indonesia.
Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.



Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini: kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.


ORDE Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi, harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunyai daya tarik yang tak tertahankan. Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin. Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan akhirnya berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI: musuh abadi Orde Baru.

Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Soekarno berkuasa. Soekarno, melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasaan. Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan. Sedangkan D.N. Aidit memburu testamen politik Soekarno kepada Tan. Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama—salah satunya Tan—apabila Soekarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Soekarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi: ”...jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”

Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 36 tahun lalu, mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, Februari lalu, guru-guru sekolah itu terkejut. Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di Internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.

Di sepanjang hidupnya, Tan telah menempuh pelbagai royan: dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia, lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”

Di seputar Proklamasi, Tan meno-rehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan ”masih sebatas catatan di atas kertas”. Tan menulis aksi itu ”uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan”. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepang kian berani dan gencar.

Kehadiran Tan di Lapangan Ikada menjadi cerita menarik tersendiri. Poeze bertahun-tahun mencari bukti kehadiran Tan itu. Sahabat-sahabat Tan, seperti Sayuti Melik, bekas Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, dan mantan Wakil Presiden Adam Malik, telah memberikan kesaksian. Tapi kesaksian itu harus didukung bukti visual. Dokumen foto peristiwa itu tak banyak. Memang ada rekaman film dari Berita Film Indonesia. Namun mencari seorang Tan di tengah kerumunan sekitar 200 ribu orang dari pelbagai daerah bukan perkara mudah.

Poeze mengambil jalan berputar. Ia menghimpun semua ciri khas Tan dengan mencari dokumen di delapan dari 11 negara yang pernah didatangi Tan. Tan, misalnya, selalu memakai topi perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian. Dan sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ini untuk mengantisipasi jika polisi rahasia Belanda, Jepang, Inggris, atau Amerika tiba-tiba datang menggerebek. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer—dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.


Satu lagi bukti yang mesti dicari: berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. ”Sekonyong-konyong tiga orang memegang kuat tangan saya dan memegang jempol saya buat diambil capnya. Semua dilakukan serobotan,” ucap Tan. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno. Tan terbukti berada di lapangan itu dan menggerakkan pemuda.

Tan tak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Soekarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Menurut Poeze, Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Soekarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundingan hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan Sekutu. Tanpa itu, nonsens.

Sebelum melawan Soekarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme. Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa. Saat itu otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. ”Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.

Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukanlah segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu: kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog ini. Ia seorang Marxis, tapi sekaligus nasionalis. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, ”Di depan Tuhan saya seorang muslim” (siapa sangka ia hafal Al-Quran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.

Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, ketika negeri ini genap 63 tahun, majalah ini mencoba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu, dan mencoba mengungkai kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain: Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.

[+/-] Selengkapnya...

27.11.08

"Sherpa Tenzing Norgay"


Tenzing Norgay adalah nama seorang penduduk asli Nepal yang bertugas sebagai pemandu bagi para pendaki gunung yang berniat untuk mendaki gunung Everest. Tenzing Norgay menjadi pemandu (Orang Nepal menyebutnya Sherpa). Bagi Sir Edmund Hillary (Sir Edmund Hillary adalah orang pertama di dunia yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi dunia Puncak Gunung Everest)

Pada tanggal 29 Mei 1953 jam 11.30, Tenzing Norgay bersama dengan Sir Edmund Hillary berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi Everest pada ketinggian 29,028 kaki diatas permukaan laut dan menjadi orang pertama didunia yang kemudian menjadi inspirasi dan penyemangat bagi ratusan pendaki berikutnya untuk mengikuti prestasi mereka. Pada rentang waktu tahun 1920 sampai dengan tahun 1952, tujuh tim ekspedisi yang berusaha menaklukkan Everest mengalami kegagalan.

Keberhasilan Sir Edmund Hillary pada saat itu sangat fenomenal mengingat baru berakhirnya Perang Dunia II dan menjadi semacam inspirator untuk mengembalikan kepercayaan diri bagi seluruh bangsa di dunia. Karena keberhasilannya, Sir Edmund Hillary mendapatkan gelar kebangsawanan dari Ratu Inggris yang baru saja dilantik saat itu Ratu Elizabeth II dan menjadi orang yang paling dikenal di seluruh dunia. Tetapi dibalik keberhasilan itu Tenzing Norgay memiliki peran yang sangat besar.

Mengapa Tenzing Norgay tidak menjadi terkenal dan mendapatkan semua yang didapatkan oleh Sir Edmund Hillary?

Padahal ia adalah sang pemandu yang membantu dan mengantarkannya mencapai Puncak Mount Everest?

Seharusnya bisa saja ialah orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Mount Everest bukan Sir Edmund Hillary. Sesaat setelah Sir Edmund Hillary bersama Tenzing Norgay kembali dari puncak Mount Everest, hampir semua reporter dunia berebut mewawancarai Sir Edmund Hillary.
Dan hanya ada satu reporter yang mewawancarai Tenzing Norgay.
Berikut cuplikannya:

Reporter: Bagaimana perasaan Anda dengan keberhasilan menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia?

Tenzing Norgay: Sangat senang sekali.

Reporter: Andakan seorang Sherpa (pemandu) bagi Edmund Hillary, tentunya posisi Anda berada di depan dia, bukankah seharusnya Anda yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Mount Everest?

Tenzing Norgay:
Ya, benar sekali, pada saat tinggal satu langkah mencapai puncak, saya persilakan dia (Edmund Hillary) untuk menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama di dunia yang berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi di dunia.

Reporter: Mengapa Anda lakukan itu???

Tenzing Norgay: Karena itulah IMPIAN Edmund Hillary, bukan impian saya. Impian saya hanyalah berhasil membantu dan mengantarkan dia meraih IMPIAN nya.

Itulah sekelumit kisah tentang seorang pemandu pendaki bernama Tenzing Norgay. Ia tidak menjadi serakah, ataupun iri dengan keberhasilan, nama besar dan semua penghargaan yang diperoleh Sir Edmund Hillary. Ia cukup bangga dapat membantu orang lain mencapai & mewujudkan IMPIAN nya.

”Sebagai Renungan”
"Bisakah kita menjadi seperti Tenzing Norgay?"
Sebenarnya bukan Bisa atau Tidak...tapi MAU atau TIDAK!


[+/-] Selengkapnya...

"DiALeKTiKA"






[+/-] Selengkapnya...

Rosa Luxemburg: Sang Pedang Revolusi


Banyak sudah tulisan yang memahat nama agung perempuan ini, seorang pemimpin partai revolusioner Jerman [SPD], jurnalis dan penulis tersohor, sekaligus pemikir Marxis terkemuka. Rosa Luxemburg, tak hanya di Jerman, namanya abadi pula dalam perjuangan revolusioner di Polandia dan Rusia. Sebarisan karya-karya besarnya menjadi bagian dari penggerak perubahan sejarah. Seumur hidupnya, dengan sepenuh-penuh jiwanya, ia teguh berjuang demi tegaknya sosialisme.

Berakhir tragis. Setahun setelah revolusi Bolsyevik yang dengan gemilang meledak di Rusia, rezim Hitler menamatkan riwayatnya. Tengah malam pada Januari 1919, setelah menjalani perburuan panjang, beserta Wilhelm Pieck dan Karl Liebknecht, “kawan-kawannya” ia ditangkap tentara Jerman. Dalam perjalanan ke penjara mereka disiksa habis-habisan. Batok kepala Luxemburg dihantam dengan popor senjata, remuk. Belum selesai di situ, kepala perempuan yang sarat pikiran-pikiran radikal ini dihujani berpuluh-puluh peluru.

Mayatnya lantas dilempar ke sungai. Leo Jogiches, kawan karib sekaligus kekasihnya, terus mencari-cari hingga akhirnya ia sendiri tertangkap dan dibunuh tentara Jerman, sebelum berhasil menemukan mayat Luxemburg. Baru pada bulan Mei, mayat Luxemburg ditemukan mengapung, tersangkut di tiang pancang jembatan, di sebuah sungai di pinggiran kota Berlin.

Remuk, dan sudah membusuk. Toh, orang masih mengenali Rosa Luxemburg, masih mengenali sebelah kakinya yang cacat. Surat-surat indah, artikel, polemik yang ditulis pada kawan-kawannya, pada Leo Jochiches yang sering dipanggilnya “Julek”, adalah jejak-jejak berharga yang tertinggal sampai abad ini. Dia dikebumikan pada Juni di Friedrichsfeld berdampingan dengan kekasihnya. Juga bersama dengan jasad para revolusioner lainnya.

Keturunan Yahudi Yang Tersisih

Lahir pada bulan Maret 1871 di Zanosc, sebuah kota kecil di tenggara negara Polandia. Kelahirannya tepat beberapa hari sebelum kaum buruh di Paris mendeklarasikan Komune Paris, bentuk pertama pemerintahan sejati rakyat. Dia bungsu dari lima bersaudara dari keluarga kelas menengah keturunan Yahudi, yang mengenal makna tersingkir dan tertindas sejak belia.

Pada usia dua tahun keluarga mereka pindah ke ibukota, Warsawa. Di situ pula awal mulanya Luxemburg mengidap penyakit serius. Tulang-tulang tubuhnya tak tumbuh sempurna. Kakinya cacat. Dari tempat tidurnya ia belajar membaca. Sampai akhirnya Luxemburg kecil terlihat menonjol kecerdasannya. Seiring itu pula, jiwa pembebasnya yang terbentuk semenjak belia makin kokoh terbangun. Hasilnya, saat ia tamat sekolah dasar menjadi lulusan terbaik, namun dewan guru menolak memberikan penghargaan tersebut karena dinilai “terlalu suka menentang pihak yang berwenang".

Menatap Luxemburg secara fisik, alangkah jauh dari gambaran keperkasaan pahlawan besar. Tubuhnya teramat kurus dan cenderung tidak proporsional, ukuran lengannya terlalu pendek.Tulang panggulnya tak rata, sehingga ia harus berjalan dengan kaki timpang. Toh, ia memiliki pesona tersendiri; binar matanya amat tajam, terpancar energi dan keyakinan luar biasa. Itulah yang mampu menundukkan orang.

Tumbuh dengan jiwa pembebas, dengan semangat benci terhadap kezaliman, jelas bukan datang dari langit. Keluarganya lah yang mati-matian berjuang sebagai warga Yahudi yang tersisih, yang ikut membentuk keyakinannya. Ayahnya seorang terpelajar, memiliki pabrik kayu, yang memperkenalkannya dengan literatur politik. Ia mulai belajar tentang demokrasi modern. Sedang, sang ibu mewarisinya dengan kebijakan manusia. Seperti yang ditulisnya pada kawannya, Sophie Leibknect, Luxemburg mengatakan, ibundanya yang menganjurkan dirinya untuk membaca Injil sebagai sumber kebijakan manusia.

Luxemburg tertarik dengan politik sejak di sekolah menengah, ia bergabung dalam pergerakan revolusioner bawah tanah, dan menjadi anggota salah satu sel Partai Proletariat, yang bersekutu dengan kelompok Narodnik (populis) di Rusia. Dua tahun sesudahnya ia mulai dicari-cari petugas, terancam ditangkap. Untuk menghindar dari pemerintahan otoriter Alexander III, ia lari ke Swiss, pada tahun 1889.

Disana ia belajar di Universitas Zurich, di bidang ilmu alam, ekonomi dan hukum. Ia ikut pula dalam perjuangan kelas pekerja, aktif dalam kehidupan politik para imigran dari Polandia dan Rusia. Kota Zurich itu sendiri merupakan kiblat bagi kaum kiri untuk belajar, seperti dua orang Marxis termasyur dari Rusia, Plekhanov dan Akselrod. Rosa sempat belajar Marxisme, ikut perdebatan-perdebatan dan menjadi seorang teoretisi Marxis terkemuka. Di sana ia mematangkan Marxismenya. Ia meyakini dirinya sebagai bagian dari kelas proletar. Dia yakin, hanya sosialisme lah yang dapat memberikan kemerdekaan sejati dan keadilan sosial. Marxisme bukanlah hanya sebuah sistem teoritis untuk mengatasi semua persoalan, lebih daripada itu, dia merupakan metode menguji proses perubahan ekonomi pada masing-masing tahapan dari perkembangan sejarah beserta semua hasil dari kepentingan, gagasan, tujuan dan aktivitas politik masing-masing kelompok dalam masyarakat.

Luxemburg berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu politik dengan menulis karya ilmiah tentang perkembangan kapitalisme di Polandia. Sebuah gelar yang dianggap sebagai di luar kelaziman, lantaran pada waktu itu belum pernah ada perempuan yang sampai tingkat doktor.

1892, adalah titik awalnya secara total berserah diri dalam politik. Luxemburg mendirikan Partai Sosialis Polandia, namun beberapa waktu kemudian dia berselisih dengan para pimpinan Partai tersebut, yang dianggapnya terlalu berkompromi dengan nasionalisme borjuis.

Selanjutnya pada tahun 1893, bersama-sama dengan Leo Jochiches ia mendirikan Partai Sosial Demokrat, yang bersifat lebih revolusioner. Masih sebagai organisasi bawah tanah, Luxemburg pergi ke Paris dan bekerja sebagai editor koran partai Sprawa Robotnicza. Selain sebagai penulis, ia lebih menyukai posisinya sebagai orator, sedangkan Leo lebih berkonsentrasi pada kerja-kerja organisasi. Dia menjadi seorang tokoh penting dalam Partai Sosial-Demokrat Jerman tanpa meninggalkan peranannya sebagai seorang pemimpin gerakan revolusioner Polandia.

Luxemburg mendapat kewarganegaraan Jerman tahun 1898 setelah menikah dengan Gustav Lubeck, seorang pimpinan sayap kiri SPD. Ia berpartisipasi pada Internasional Kedua dan pada revolusi 1905 di Rusia bergabung dengan partai Sosial Demokrat.

Seorang Petarung Sejati

Rosa Luxemburg adalah sang petarung sejati. Seorang visioner yang mempunyai pikiran jauh ke depan. Tak pernah gentar berhadapan dengan para pengkritiknya, berdebat dengan sesama orang revolusioner, dan tidak jarang berbeda pendapat dengan Lenin, karena keadaan di Rusia amat berlainan dengan kondisi di Jerman waktu itu, sehingga kaum Bolsyevik mengembangkan stategi dan taktik yang berbeda pula.

Ia selalu melawan unsur-unsur nasionalis dalam gerakan kiri Polandia. Waktu itu sebagian dari wilayah Polanda dikuasai oleh Rusia. Pada dasarnya Lenin setuju bahwa semua nasionalisme harus dilawan. Namun Lenin melihat masalah itu dari sudut pandangan seorang warga Rusia, yaitu seorang warga dari bangsa penindas, dan dia berusaha menyadarkan kaum buruh Rusia yang mesti menjamin hak rakyat Polandia untuk merdeka. Hanya dengan menjamin hak ini kaum buruh Rusia bisa ikut membantu dalam mengatasi nasionalisme di Polandia, karena nasionalisme muncul sebagai akibat dari penindasan yang dilakukan oleh administrasi Rusia.

Luxemburg menganggap sikap Lenin ini sebagai kompromi dengan nasionalisme. Perdebatannya kompleks, karena sebetulnya Luxemburg juga ingin menjamin hak tersebut untuk sejumlah bangsa tertindas lainnya. Pada dasarnya pendekatan Lenin harus dinilai lebih benar karena lebih dialektis. Dia menyimak perjuangan nasional dan perjuangan kelas dari dua sisi: "Kami orang Rusia harus menekankan hak rakyat Polandia untuk merdeka, sedangkan kawan-kawan Polandia harus menekankan hak mereka untuk bersatu dengan kami."

Luxemburg juga mengecam sepak terjang kaum Bolsyevik setelah mereka mengambil alih kekuasaan. Kritik ini, dalam sebuah naskah yang ditemukan setelah dia meninggal dunia, terkadang disalah artikan. Rosa dengan antusias mendukung revolusi Oktober yang dipimpin oleh Partai Bolsyevik: "Pemberontakan Oktober tidak hanya menyelamatkan Revolusi Rusia dalam kenyataan, tetapi juga menyelamatkan nama baik gerakan sosialis internasional ... masa depan kita di mana-mana diperjuangkan oleh kaum Bolsyevik."

Kritiknya yang ketiga menyangkut soal demokrasi. Sebelum Oktober, kaum Bolsyevik menuntut agar majelis konstituante (yang mewakili rakyat dengan cara parlementaris borjuis) mesti dipanggil. Setelah insureksi Oktober, ketika soviet-soviet (dewan-dewan utusan buruh, tentara dan petani) mengambil alih kekuasaan, pihak Bolsyevik tidak lagi mendukung majelis konstituante yang didominasi oleh pihak reformis dan borjuis itu.

Ketika majelis itu akhirnya berkumpul, malah dibubarkan oleh kaum Bolsyevik. Menurut Luxemburg tindakan ini tidak demokratik Tapi yang harus dimengerti di sini adalah perbedaan antara demokrasi borjuis dan demokrasi buruh (sosialis). Dalam prinsip, soviet-soviet adalah lebih unggul karena berdasarkan kaum buruh yang memilih wakil-wakil mereka di tempat kerja.Dalam kenyataan, soviet-soviet merupakan kekuasaan kelas buruh, sedangkan majelis konstituante dikuasai oleh pihak kontrarevolusi. Jika kaum Bolsyevik mau mempertahankan kekuasaan kelas buruh, mau tidak mau majelis konstituante harus dibubarkan.

Cukup jelas, bahwa salah satu kesalahan terbesar Rosa adalah ketidakbersediaannya untuk membangun sebuah partai tipe Bolsyevik beberapa tahun terlebih dahulu. Namun kita tidak boleh membandingkan Lenin dan Luxemburg begitu saja. Lenin mengembangkan sebuah partai tipe baru karena harus menghadapi kondisi baru di Rusia. Sebelum tahun 1914 dia tidak pernah menuntut agar Rosa keluar dari Partai Sosial Demokrat Jerman. Malah Lenin lebih percaya pada para pimpinan partai itu. Baru ketika perang dunia meledak, dan para pimpinan sosial demokrat mengkianati kelas buruh dengan mendukung perang tersebut, Lenin akhirnya mengakui: "Rosa Luxemburg terbukti benar: sudah jauh-jauh hari dia sadar bahwa Kautsky adalah seorang teoretisi oportunis."

Pada tahun 1905, revolusi Rusia yang pertama meledak. Di sini, pemogokan massa menjadi motor revolusi, dan fenomena itu memberikan pengertian baru yang mendalam untuk memahami hubungan erat antara perjuangan ekonomi dan perjuangan politik. Para pimpinan sosial-demokrat seperti Bernstein dan juga Karl Kautsky (yang waktu itu masih mengaku sebagai seorang revolusioner) tidak setuju dengan pemogokan massa, karena mereka menganggap aksi-aksi semacam itu kurang politis. Namun Luxemburg menekankan bahwa di masa revolusi, perjuangan ekonomi berkembang serta meluas menjadi perjuangan politik, dan sebaliknya: “Gerakan semacam ini tidak hanya bergerak ke satu arah, dari sebuah perjuangan ekonomi ke politik, tetapi juga dalam arah sebaliknya. Setiap aksi massa politik yang penting, setelah mencapai puncak, menimbulkan sejumlah pemogokan ekonomi massa. Dan prinsip ini bukan hanya relevan untuk pemogokan massa secara terpisah, tetapi juga untuk revolusi secara keseluruhan. Dengan perluasannya, klarifikasi dan intensifikasi perjuangan politik, perjuangan ekonomi bukan hanya tidak surut, bahkan sebaliknya berkembang luas sekaligus menjadi lebih terorganisir dan lebih intensif. Ada pengaruh timbal-balik antara kedua macam perjuangan itu.”

Setiap serangan dan kemenangan baru dalam perjuangan politik akan berdampak secara dahsyat kepada perjuangan ekonomi, karena dengan meluasnya cakrawala kaum buruh serta motivasi mereka untuk memperbaiki kondisi mereka, pengalaman tersebut juga mempertinggi semangat tempur mereka. Setiap selesai gelombang aksi politik, ada endapan subur, dari situ akan muncul ribuan perjuangan ekonomi, dan sebaliknya.

Puncak pemogokan massa adalah "pemberontakan terbuka, yang hanya akan terealisir sebagai titik kulminasi dari serangkaian pemberontakan lokal yang mempersiapkan medan (yang hasilnya selama beberapa waktu mungkin adalah kekalahan sementara, sehingga aksi tersebut mungkin tampaknya ‘gegabah’)." Betapa hebatnya peningkatan kesadaran kelas yang dapat dihasilkan oleh pemogokan-pemogokan massa ini: “Yang paling berharga (karena paling abadi) dalam naik turunnya arus gelombang revolusi, adalah perkembangan jiwa kaum proletar. Keuntungan yang didapat oleh lompatan intelektual yang tinggi kaum proletar akan menjamin kemajuan mereka secara terus menerus dalam perjuangan politik dan ekonomi yang akan datang.”

Serangan yang gagal dari sayap kiri dari Partai Sosial Demokrat, "Liga Spartakus", di bawah kepemimpinan Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht, telah menyeretnya ke penjara --Spartakus adalah seorang budak yang memberontak pada zaman Romawi kuno; Liebknecht adalah satu-satunya anggota parlemen Jerman yang melawan Perang Dunia I semenjak awal--, di tahun 1916 sampai 1918.

Dari balik tembok penjara lah ia justru menemukan kekuatannya. Disini ia berjuang keras melewati masa-masa depresi, ia tak mengeluh mengatakan berjuta penderitaannya. Selain menulis tentang Revolusi Rusia, satu-satunya hal yang membahagiakan adalah bisa menulis surat untuk Leo-nya, yang berselisih 15 tahun, yang kemudian dijatuhi hukuman mati lantaran mengedarkan seruan mogok bagi para para tentara dan buruh pabrik senjata. Sebelum kematiannya, dia telah memutuskan dengan Clara Zetkin dan Mathild Jacob untuk mempublikasikan tulisan-tulisan karya Luxemburg. Hanya pada Leo lah ia nyatakan kepedihan hatinya: “Jika saat ini, nyawaku mendahului pergi, aku tak sanggup lagi berkata-kata sebagai ungkapan perpisahan, dan hanya bisa menerawang dengan tatap kosong keputusasaan. Sejatinya, aku jarang sekali berkehendak untuk bicara. Minggu-minggu berlalu tanpa mendengar suaraku sendiri”.

Surat-suratnya terus mengalir dari penjara. Luxemburg, seseorang yang mempunyai kecintaan yang dalam pada kehidupan, dia juga meluangkan waktu dengan merenungkan “burung-burung, hewan serta puisi.”

Tentang Perjuangan Perempuan

Kendati secara khusus jarang menulis tentang gerakan perempuan, terhadap gerakan perempuan sikapnya jelas. Baginya, kebebasan perempuan adalah bagian dari pembebasan dari penindasan kapitalisme. Ia menentang pemisahan terhadap gerakan perempuan dan gerakan politik. Sebagai ketua partai ia lebih menempatkan dirinya sebagai pimpinan revolusioner dari laki-laki dan perempuan. Ia berdiri mutlak diantara pertarungan politik.

Menurutnya, perempuan dapat mencapai kemerdekaannya secara penuh hanya dengan memenangkan revolusi sosial dan menyingkirkan perbudakan ekonomi mereka pada institusi keluarga, dan dia mencurahkan seluruh energinya untuk dipersembahkan pada revolusi. Luxemburg menolak pandangan tentang peran-peran stereotip perempuan yang biasanya, yang lazimnya ada di organisasi.

Ia tak pernah tertarik pada fungsi-fungsi administratif, keuangan, dan kerja-kerja pengorganisiran.Ia lebih suka berpidato dan menulis.Ia memahami pentingnya mengorganisir perempuan untuk menjadi bagian dari perjuangan revolusioner, dia tetap menolak untuk dipaksa dalam beberapa peranan tradisional perempuan ke dalam partai. Luxemburg memandang perempuan sebagai bagian yang terekspoitasi, termasuk di dalamnya kelas pekerja, bangsa-bangsa minoritas dan petani. “Seorang perempuan, harus berani untuk terlibat dalam politik, sebuah wilayah yang hampir seluruhnya dikuasai oleh laki-laki”, demikian ungkapnya.

Dalam sebuah surat yang ditulis yang ditulisnya di penjara, dia meminta Sophie Liebknecht untuk meneruskan bacaannya. “Engkau harus terus-menerus mengasah batinmu, dan hal tersebut akan sedikit mudah untukmu jika fikiranmu senantiasa segar dan lentur”.

Dalam sebuah pidato pada Rally Perempuan Sosial Demokratik Kedua, 12 Mei 1912, Luxemburg menyatakan bahwa:
Hak memilih kaum perempuan adalah sasaran yang tepat. Dia berpendapat bahwa “gerakan massa untuk memperolehnya bukanlah (sekedar) tugas bagi perempuan dan laki-laki dalam masyarakat proletariat. Lemahya hak-hak yang diberikan oleh pemerintah Jerman adalah hanya salah satu rantai belenggu yang menghalang-halangi kehidupan masyarakat. Lemahnya hak-hak pada kaum perempuan menjadi alat yang paling penting dari klas kapitalis yang berkuasa.


[+/-] Selengkapnya...

26.11.08

"LiLiN kecil: aku hanyalah si kecil, kecil seperti redup sinarmu"





[+/-] Selengkapnya...

GESTAPU : CATATAN PINGGIR GUNAWAN MUHAMMAD

Tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat pembunuhan. Di tahun 1965-1966 itu, mula-mula sejumlah jenderal, kemudian berpuluh ribu orang Indonesia yang bukan jenderal dan tak bersalah bergelimpangan dibantai. Atau disiksa.

Sejak itu, di tanah tumpah darah ini, kita begitu takut, pedih, dan malu mengaku bersalah oleh keganasan itu. Semuanya kita masukkan ke dalam sebuah kata, ”Gestapu”, seperti kita menyembunyikan sesuatu di dalam kotak. Kita gagap bila kita harus mengenangnya.
Maka tiap 30 September dan 1 Oktober ada keinginan yang saya kira terpendam di hati orang banyak: keinginan untuk mampu mengenang horor itu, tapi juga berharap ia tak akan berulang. Indonesia tak boleh lagi mengelola konflik lewat darah dan besi.

Keinginan itu tampak mudah dipenuhi setelah ”Orde Baru” runtuh, setelah sebuah pemerintahan yang stabil - tapi bersandar pada kapasitasnya membangun rasa takut - ambruk. Tapi segera terbukti kita gampang terbuai ilusi. Prasangka rasial, rasa curiga antarkelompok, kebencian, paranoia, dan waswas yang diperkuat oleh agama seakan-akan malah bergelombang datang. Indonesia nyaris habis harapan. Semuanya seakan-akan mesti berakhir dengan membunuh.

Tapi mungkinkah ada sebuah lingkungan hidup bersama—bisa disebut ”masyarakat”, ”komunitas”, atau ”bangsa” - yang akan memilih khaos dan kekerasan sebagai satu-satunya cara bersaing dan bersengketa? Para optimis mengatakan, tak mungkin. Sengketa dan kekerasan bukanlah pola dalam sejarah. Tiap kehidupan bersama selalu mengandung keinginan bersama untuk ”masyarakat yang baik” dan kapasitas untuk mencapai mufakat. Bahkan binatang buas berdamai dalam puaknya.

Tapi benarkah ”selalu”? Benarkah kita senantiasa bergerak untuk mufakat? Katakanlah tiap orang, tiap kelompok, memang menghendaki ”masyarakat yang baik”, tapi apa gerangan yang ”baik”? Selalukah yang ”baik” bagi kami juga ”baik” bagi mereka?

Zaman ini yang berbeda dan ganjil berduyun-duyun masuk ke dalam pengalaman - dan kita ragu adakah nilai yang universal. Kondisi ”pasca-modernis” datang. Seorang pemikir seperti Richard Rorty bahkan menunjukkan, nilai-nilai selamanya contingent, tergantung, kepada waktu dan tempat. Apa yang ”baik” selamanya dipengaruhi konteks. Sebab itu jangan dipaksakan. Bahkan keyakinan kita sendiri tentang ”baik” dan ”buruk” perlu dicampur dengan satu dosis besar ironi.

Pandangan seperti ini memang membuka ruang luas toleransi. Kita tak bisa jadi fanatik memeluk ide-ide besar. Tapi ada yang boyak; ia tak cukup memberi dasar bagi langkah politik untuk membangun kebaikan bagi sesama. Tentu, Rorty tak menganggap kita bisa selamanya berdiri di tepi dengan senyum ironis. Baginya, tak ada alasan untuk berpangku tangan ketika kekejaman terjadi.

Rorty memang tak menampik tumbuhnya rasa solidaritas antarmanusia. Tapi bagaimana rasa solidaritas itu mungkin? Bagaimana ia bisa memadai untuk membentuk sebuah kekuatan pembebas, jika keyakinan tentang nilai-nilai yang universal, yang menggerakkan siapa saja, cair oleh ironi?

Memang, liberalisme Rorty bukan formula untuk bunuh-membunuh. Tapi ia tak bisa memberi jawab bagi keadaan yang mungkin tak dialaminya. Rorty begitu betah dengan hidup nyaman Amerika-nya. Tapi ada kondisi lain, di mana politik bergerak bukan karena keinginan, melainkan oleh kemestian, di mana gagasan tentang ”masyarakat yang baik” bukan imajinasi waktu senggang, melainkan karena rasa lapar yang akut akan keadilan.

Di sini liberalisme ala Rorty bisa semacam skandal. Tak mengherankan dalam latar umum Afrika, Asia, dan Amerika Latin, orang pernah dengan bahagia mendapatkan analisis dan inspirasi dari yang lain: Marxisme. Marxisme punya satu imbauan universal: cita-cita tentang masyarakat tanpa kelas. Tapi juga Marxisme bisa ampuh karena melihat nilai-nilai sebagai sesuatu yang tak datang dari luar sejarah. Marxisme merayakan dinamika dan perubahan.
Tak mengherankan bila beribu-ribu orang pun bergerak, dengan sakit dan miskin, dengan jiwa dan raga. Yang tragis ialah bahwa Marxisme - sebuah alat diagnostik yang cemerlang - ternyata sebuah terapi yang gagal. Bahkan Cina murtad. Apa yang tersisa dari Marxisme di sana sekarang, dengan kemajuan ekonomi yang membuat orang terkesima? Hanya sebuah partai komunis yang tak percaya kepada imannya sendiri.

Maka pada suatu saat orang pun membaca Habermas. Ia meyakinkan kita bahwa ada rasionalitas yang bisa membawa apa yang ”baik” melintasi batas ruang-dan-waktu. Komunikasi adalah laku yang tak asing. Dalam situasinya yang ideal, komunikasi dapat menghasilkan mufakat tentang ”masyarakat yang baik”.

Tapi tiap 30 September dan 1 Oktober kita teringat bahwa dorongan untuk bermufakat berakhir dengan pembunuhan. Indonesia adalah sebuah republik yang luka ketika bersikeras membentuk konsensus. Kini kita takut berilusi: bisakah kita sepakat tentang ”masyarakat yang baik”? Akan adakah situasi percakapan yang ideal?

Siapa yang takut mimpi perlu memanggil mambang Marxisme. Kita akan bisa melihat - seperti Laclau memanggil roh Gramci—bahwa mufakat tak datang dengan sendirinya. Ia hasil pergulatan hegemoni. Dan dengan Marxisme yang radikal yang memandang sejarah sebagai perubahan, kita akan mengakui bahwa hegemoni itu tak akan abadi. Pengertian dan konsensus tentang ”masyarakat yang baik” tak akan kekal. Kekuasaan yang menjaga konsensus itu tak akan selamanya bisa memenuhi cita-cita.

Itu sebabnya kita memilih demokrasi sebagai sistem yang mengakui kekurangan manusia. Kita lebih berendah hati. Maka sambil mengakui pergulatan politik akan berlangsung terus-menerus, kita tak perlu bersiap dengan darah dan besi. Ongkos akan terlalu mahal - seperti 30 September dan 1 Oktober 1965 - untuk sesuatu yang tak akan sempurna dan selama-lamanya.

[+/-] Selengkapnya...

23.11.08

"Sesuatu Yang Hidup, Harus Memiliki Kehidupan"

[+/-] Selengkapnya...

22.11.08

"MiRROR"



[+/-] Selengkapnya...

18.10.08

"DAMAI itu DAMAI"

"BERPERANGLAH MELAWAN DIRIMU SENDIRI
SAMPAI ENGKAU TIDAK MENGINGINKAN MEMERANGI ORANG LAIN"

[+/-] Selengkapnya...

17.10.08

"YANG KUAT YANG KALAH"

"Sekedar Untuk Bertahan Hidup"

[+/-] Selengkapnya...

"MeMoar 28101998"

DIATAS GUNUNGMU, KUCARI JATI DIRI.
DITENGAH HUTANMU, KURASAKAN PERSAHABATAN ALAMI.
DITEPI SUNGAIMU, KUBASUH DAHAGA NURANI.
DIBAWAH KEHENDAKMU, KUTEMUKAN PENGETAHUAN SEJATI.

[+/-] Selengkapnya...

11.5.08

"In Memoriam"

Sejauh apapun aku berlari, tak akan sangup meninggalkan kenyataan hidupku.
Sekuat apapun aku berdiri, tak akan mampu menahan beban hidupku.
Sehebat apapun aku bertahan hidup, tak akan kuasa melawan takdir kematianku.

[+/-] Selengkapnya...